0852-9070-8928, Toko Buku Online, Jual Buku Bekas, Line : !TokoBuku99, 5D72B161, Toko Buku Online Murah, Jual Buku Online, Toko Buku Online Terlengkap, Toko Buku Islam, Jual Buku Import, Toko Buku, Jual Buku Murah, Jual Beli Buku
Seri Sastra Islami
SYNOPSIS
“Kamu mau ke Jawa Timur? Jawa Timur sedang genting, lagi musim ninja!” Masih mengiang kata-kata Mas Tugas, asli Ponorogo, kakak angkatanku di IKIP Bandung.
“Ya, Mas,” Aku sengaja tak menanggapi soal musim ninja di Jawa Timur yang akhir tahun 1998 sedang marak-maraknya paska geger Reformasi. Aku memang telah teramat jenuh mengikuti perkembangan politik tanah air, apalagi sejak para oportunis terus bermetamorfosis menjadi reformis.
“Hati-hati, kamu berjenggot, pokoknya kamu jangan bepergian disana sebelum jam 6 pagi!” Aku tersenyum mengenang pesan aneh terakhir Mas Tugas. Gaya bicaranya kental jawatimuran seperti ketika sama-sama masih aktif di Pusat Kegiatan Mahasiswa. Mas Tugas itu mantan ketua Unit Pers Mahasiswa sekaligus Pemred Isola Pos, aku sendiri mantan ketua Teater Mahasiswa IKIP Bandung.
“A, ini KTM Teteh, satukan dengan KTP Aa!” Suara lembut Humaira membuyarkan lamunanku.
“The, tidak usah kuatir, insya Allah kita akan sampai Temboro! Kita akan tiba di Madinah Van Java! Takdir itu di tangan Allah. Seandainya kita mati ditebas pedang ninja, itupun karena takdir Allah. Bukan mati oleh si ninja!” Gairah keyakinanku berkobar. Pelajaran iman yakin dari Kang Surya, ustadz tirakat di Masjid MiftahulIman dekat kosku, saatnya kupraktekkan.
“Hidup mati kita di tangan Allah, bukan di tangan ninja. Biar seribu satu ninja menyerbu kita, tetapi kalau belum takdirnya mati, kita tidak akan mati. Sebaliknya, boleh jadi, ninja itu yang mati sebelum mengayunkan pedangnya.”
“Ya, Mas,” Aku sengaja tak menanggapi soal musim ninja di Jawa Timur yang akhir tahun 1998 sedang marak-maraknya paska geger Reformasi. Aku memang telah teramat jenuh mengikuti perkembangan politik tanah air, apalagi sejak para oportunis terus bermetamorfosis menjadi reformis.
“Hati-hati, kamu berjenggot, pokoknya kamu jangan bepergian disana sebelum jam 6 pagi!” Aku tersenyum mengenang pesan aneh terakhir Mas Tugas. Gaya bicaranya kental jawatimuran seperti ketika sama-sama masih aktif di Pusat Kegiatan Mahasiswa. Mas Tugas itu mantan ketua Unit Pers Mahasiswa sekaligus Pemred Isola Pos, aku sendiri mantan ketua Teater Mahasiswa IKIP Bandung.
“A, ini KTM Teteh, satukan dengan KTP Aa!” Suara lembut Humaira membuyarkan lamunanku.
“The, tidak usah kuatir, insya Allah kita akan sampai Temboro! Kita akan tiba di Madinah Van Java! Takdir itu di tangan Allah. Seandainya kita mati ditebas pedang ninja, itupun karena takdir Allah. Bukan mati oleh si ninja!” Gairah keyakinanku berkobar. Pelajaran iman yakin dari Kang Surya, ustadz tirakat di Masjid MiftahulIman dekat kosku, saatnya kupraktekkan.
“Hidup mati kita di tangan Allah, bukan di tangan ninja. Biar seribu satu ninja menyerbu kita, tetapi kalau belum takdirnya mati, kita tidak akan mati. Sebaliknya, boleh jadi, ninja itu yang mati sebelum mengayunkan pedangnya.”
Posting Komentar